A. Pendahuluan
Problem guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai
seminar, diskusi, dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan
terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh guru dalam menjalankan tugasnya
sebagai pengajar dan pendidik dilingkungan sekolah. Penyebabnya karena
berdasarkan sejumah penelitian pendidikan, guru diyakini sebagai salah satu
faktor yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses
transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan
moral. Karena itu tidaklah berlebihan apabila para pemerhati pendidikan
senantiasa mengarahkan perhatiannya pada persoalan guru dan keguruan.
Masalah yang berkaitan dengan guru dan keguruan antara lain persoalan kurang
memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, rendahnya tingkat kesejahteraan
guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, hingga kepada kurangnya
penghargaan masyarakat terhadap guru ( Sidi, Indra Djati:2000). Meskipun pemerintah
bersama orang tua dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya yang mengarah
langsung kepada perbaikan profesi guru, namun berbagai dimensi persoalan guru
tetap muncul sebagai masalah utama dalam dunia pendidikan nasional ditanah air.
Guru, selain diperhadapkan pada berbagai persoalan internal seperti yang
disebutkan tadi, juga mendapat dua tantang eksternal yaitu krisis etika dan
moral anak didik serta tantangan menghadapi persaingan bebas diera globalisasi.
Diera globalisasi yang penuh dengan persaingan guru diperhadapkan pada
kenyataan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu,baik secara
intelektual maupun emosional supaya dapat survive dalam persaingan. Karena itu
peran seorang guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga intelegensi
sekaligus yakni : intelektual, emosional dan moral. Untuk dapat melaksanakan
peran tersebut seorang guru dituntut untuk bekerja secara profesional.
Cukup banyak artikel berupa opini maupun berita yang membahas masalah profesi
guru. Banyak pula guru yang membicarakannya dengan mata berbinar karena dengan
pengakuan guru professional berarti juga peningkatan kesejahteraan. Satu syarat
yang dapat dijadikan indikator guru professional adalah jika dia telah lulus
uji sertifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik
merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar
terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya
manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing di forum
regional, nasional, maupun internasional.
Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti
yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002). Mereka
memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA,
dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval
0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa
juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi
(44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu
jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar
dengan baik.
Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu
Pendidikan (Adiningsih:2002) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA
mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan
sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika
penguasaan materi mata pelajaran yang diampu masih kurang, dan bagaimana
dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang
keahliannya.Ironis memang ditengah komitmen kita untuk mengedepankan budaya
mutu dalam mengantisipasi era persaingan ternyata kualitas guru sebagai ujung
tombak pendidikan masih diperlu ditinjau kembali. Permasalahanya adalah
bagaimana guru dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan baik, jika
profesionalismenya masih dipertanyakan. Tulisan singkat ini akan mengulas
tentang profesionalisme guru dan tantangan yang dihadapi.
B. Profesi Keguruan
Secara sederhana pekerjaan apapun akan dinilai professional adalah apabila out
put yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan semua pihak. Semua profesi bisa
dikatakan professional bila pekerjaan itu dilakukan oleh mereka secara khusus
bukan karena tidak bisa melakukakan pekerjaan lainnya. Begitu pula profesi
guru, guru adalah sangat penting karena ia akan menyampaikan ilmu pengetahuan
yang tidak akan pernah rusak sampai kapanpun. Beberapa pakar mengatakan bahwa
pekerjaan guru Jabatan guru memerlukan keahlian khusus adalah pekerjaan yang
sangat mulia sebab :
• Untuk menjadi guru harus memepunyai beberapa sifat diantaranya memiliki bakat
dan keahlian, memiliki kepribadian yang baik dan memiliki mental dan fisik yang
kuat.
• Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas.
• Seorang warga negara yang baik (Sudjana, 1989: 15).
Kemudian Profesi guru menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5
ayat 1, yaitu; ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut: a. Memiliki bakat,
minat, panggilan jiwa dan idealisme b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan
latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya. c. Memiliki kompetensi
yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. d. Mematuhi kode etik profesi.
e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas. f. Memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya. g. Memiliki
kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan. h. Memperoleh
perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya. i. Memiliki
organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Pada prinsipnya guru yang profesional adalah guru yang dapat menjalankan
tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain:1. Ahli di
Bidang teori dan Praktek Keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai
ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya (menyampaikannya). Dengan
kata lain guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan peserta
didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik. 2. Senang memasuki
organisasi Profesi Keguruan.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah
pekerjaan itu memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki
organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru
memiliki organisasi ini. Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol
kinerja anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki
fungsi: (a) menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan
adanya satu kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan
anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para
anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka
peningkatan kemampuan profesional, dan (f) mengambil tindakan terhadap anggota
yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psychologis.
3. Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai. Keahlian guru
dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh
pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga
masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada
beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain:
(a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih
(b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan
kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemaslahatan dengan fungsi
mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik. Peran
guru ini seperti ini menuntut pribadi harus memiliki kemampuan managerial dan
teknis serta prosedur kerja sebagai ahli serta keihlasan bekerja yang
dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.
4. Melaksanakan Kode Etik Guru. Sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk
memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan
I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu
norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai
oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasi sangat penting dan mendasar,
sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang
dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik berfungsi untuk mendorong
setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan
profesionalismenya demi kemaslahatan orang lain. 5.Memiliki otonomi dan rasa
tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru
harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang
guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pilihan nilai, dapat
menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan
keputusan yang dipilihnya.
6. Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran
sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga
pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat
tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada
masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik. 7. Bekerja atas panggilan
hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya
didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa
senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdaskan anak didik.
Usman (dalam Adiningsih:2002) membedakan kompetensi guru menjadi dua, yaitu
kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kemampuan pribadi meliputi; (1)
kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan
berkomunikasi, (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan
kompetensi profesional meliputi: (1) Penguasaan terhadap landasan kependidikan,
dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b) mengetahui
fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip psikologi pendidikan;
(2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi
pelajaran yang ajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada
kurikulum maupun bahan pengayaan; (3) kemampuan menyusun program pengajaran,
kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan kopetensi belajar, mengembangkan
bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran; dan (4) kemampuan
menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.
C. Profesionalisme Guru dalam wacana Pendidikan
Masalah Profesionalisme guru sering menjadi bahan yang menarik untuk
dibicarakan dan disoroti, sebab keberadaan guru dan kelayakan seorang guru baik
dalam tugas akademisnya maupun sikapnya dalam masyarakat menjadi slah satu
penentu kualitas pendidikan.
Semua komponen masyarakat menginginkan guru yang professional, guru yang
kompten dalam memikul tugasnya di dunia pendidikan. Selalu diharapakan akan
danya seorang guru yang yang professional yang layak membimbing generasi muda
kearah yang diinginkan dimana para generasi muda akan memiliki bekal untuk meneruskan
cita-citanya. Tetapi malangnya hanya sedikit dari masyarakat yang mengahargai
profesi guru. Masyarakat terkadang masih hanya menginginkan dan menrima saja
tanpa ada usaha untuka meningkatkan atau membantu tenaga professional guru,
bahkan kebanyakan masyarakat tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya yang
disebut guru professional. Masyarakat hanya tahu anak-anak mereka dapat belajar
dengan baik dan mendapatkan nilai yang baik.
Disisi lain guru dalam menjalankan tugasnya mendapatkan lebih banyak tantangan
dari berbagai sisi terutama dalam bidang pendidikan sendiri. Tantangan yang
telah dihadapi para guru harus bertambah lagi dengan krisis ekonomi golabal
yang telah mempengaruhi pendiidkan di Indonesia. Pada masa krisis
berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia semakn sulit bagi para guru dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Semakin hari semakin besar tantangan yang akan di
hadapi para guru dalam dunia pendidikan. Saat ini Indonesia membutuhkan tenaga
lebih handal, karena dengan pengaruh kondisi saat ini kita butuh guru yang
bukan hanya bertugas mengajar melainkan mendidik, membentuk dan menempa
siswanya untuk mencapai tujuan pendiidkan dan tentu saja akan menambah beban
bagi para guru.
Seorang guru profesional, guru mempunyai citra yang baik di mata masyarakat
apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau
teladan masyarakat di sekelilingnya. Saat ini guru harus melakukan usaha yang
cukup agar dirinya menjadi layak, dan satu satunya usaha yang harus dilakukan
adalah meningkatkan profesionalisme yang telah dimilikinya kearah yang lebih
baik. Dahulu kehidupan guru cukup terhormat, secara ekonomis, memiliki
penghasilan yang memuaskan dan guru sangat disanjung masyarakat. Tetapi dua
puluh tahun terahir hal tersebut tidak lagi terjadi dan bahkan kenangan belaka.
Profesi guru tidak lagi menjadi cita-cita yang hebat, bahkan tidak jarang hanya
menjadi pilihan terahir dan satu-satunya karena tidak ada pekerjaan lain.
Maka untuk mendapatkan kembali gelar kehormatan bagi profesi guru dalam
kehidupan bermasyarakat dimasa lalu, guru harus bersikap dan bertindak lebih
profesional dalam menjalankan profesinya. Gguru yang profesional dituntut
meliki kualifikasi pendidikan profesi ya ng memadai, memiiki kompeensi keilmuan
sesuai bidang yangdigelutinya, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan
anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan
komitmen tinggi terhadap profesinya dan selalu melakukan pengembangan diri
secara terus menerus. (indrajati, 2001). Dari kualifikasi yang telah dimiliki
guru ini, maka seorang guru dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Tentu untuk mendapatkan kualifikasi tersebut banyak yang harus dilakukan oleh
guru, termasuk persiapan untuk mendapatkanya. Seperti di kutip Tilaar,
”professional teacher of course should have a professional preparation. Teacher
professionalism needs minimum requirements : a good program of teacher of
education, a strong and massive general education program, and higly selcted,
intelleigent and anthusiatic intake of young people as student in training
institusion” (H.A.R Tilaar, 1999). Guru yang benar-benar professional yang
memiliki kualifikasi pendiidkan akan membimbing anak didikanya dengan baik
sesuai harapan masyarakat. Para orang tua murid tidak akan segan untuk membayar
lebih mahal agar naka-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Hal ini membuat
pendidikan menjadi komoditi yang mahal dikalangan masyarakat, jika hal ini
terjadi maka profesionalitas guru tidak perlu khawatir akan kekurangan pendapatan.
Apabila guru dapat menempatkan diri dengan baik dihadapan masyarakat dengan
segala kualifikasi yang dimilikinya guru tidak perlu takut akan dipandang
rendah bahkan tidak dihargai.
Lain daripada itu guru yang bermutu adalah guru yang kreatif dan mampu menjadi
pembangkit kreativitas dan guru yang berkualitas adalah guru yang berikir
kritis dan kreatif. Pada umumnya guru yang kreatif itu pernah dididik oleh
orang-orang yang kreatif dalam lingkungan yang memanfaatkan ilmu dan keahlinya
untuk selalu mengkomunikasikan kepada anak-anak didiknya ide-ide lama dan
ide-ide baru dalam bentuk yang baru (Balnadi Sutadipura, 1985). Yang dimaksud
dengan berfikir kritis adalah cara berfirkir yang otonom dan objektif dan
berfirkir kreatif adalah mengolah apa yang kita ahayati secara otonomo dan
objektif sedemikian rupa sehingga mutunya dapat ditingkatkan. (Ki Muhammad Said
Reksohadi Pridjo, 1989).
Seandainya seorang guru telah memiliki profesionalisme keguruan maka tidak
hanya berhenti sampai disana melainkan guru harus terus mengmebangkan sikap
profesionalnya dalam jabatan keguruanya. Peningkatan profesi profesi keguruan
dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan penatan guru, lokakarya, seminar
atau kegiatan ilmiah lainya ataupun secara informal melalui media massa. Hal
ini akan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan seorang guru. (Soetjipto
& Raflis Kosasih; 1999).
D. UU No. 14 2005 ; Profesionalitas Guru Antara Harapan Dan Tantangan
Sejak dari dulu keberadaan guru mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat,
dan dalam bidang pendidikan merupakan faktor kunci dari keberhasilan tujuan
pendidikan dan kualitas peserta didik. Meskipun sedemikian strategis peran
guru, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka kita belum memiliki undang-undang
yang khusus mengatur tentang guru dan dosen. Dari sisi ini, kelahiran UU Nomor
14 Tahun 2005 pantas disambut baik, terlepas dari berbagai kelemahan dan
kekurangannya. Bagaimana pun strategisnya peran guru dan dosen dalam dunia
pendidikan, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya, ia tidak saja
melahirkan kerumitan dalam pengembangan profesi, juga melemahkan etos kerja
guru dan dosen. Dalam konteks ini haruslah dipahami, bahwa UU No.14 Tahun 2005
tidak terlepas dari fungsinya sebagai hukum.
Fungsi peraturan perundang-undangan sebagaimana halnya dengan UU No.14 Tahun
2005 meliputi fungsi ketertiban, fungsi keadilan, fungsi penunjang pembangunan,
fungsi mendorong perubahan sosial. Atas dasar itu, maka dengan diundangkannya
UU No.14 Tahun 2005, maka guru telah memiliki pijakan dan pegangan dalam
menjalankan profesi. Guru yang selama ini cenderung hanya dipandang sebagai
profesi mulia dan strategis, namun belum diikuti dengan pengembangan dan
peningkatan profesi yang berkualiatas dan bermartabat. Disisi lain guru
dituntut beban untuk menghasilkan peserta didik yang bermutu. Diakui memang,
ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang menyentuh pengembangan dan
peningkatan profesi guru, tetapi hal itu lebih kepada aspek prosedur
administrative profesi dan bukan menyakut profesi guru dan dosen itu sendiri.
Dari sisi inilah saya pikir arti penting kehadiran UU No.14 Tahun 2005.
Pengundangan UU No.14 Tahun 2005 mau tidak mau membawa perubahan mendasar pada
dunia profesi guru dan dosen dan dunia pendidikan dimasa datang. Hal ini dapat
dipahami dengan mudah sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 dan 5 UU No.14 Tahun
2005 yang pada intinya menyatakan; Kedudukan guru sebagai tenaga profesional
berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran
berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dan Kedudukan dosen
sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran
dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkat mutu pendidikan
nasional.
Meletakan kedudukan dan fungsi guru yang demikian adalah guna mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga Negara yang
demokratis dan bertanggung jawab. Karena itu menjadi logis, bahwa tercapainya
tujuan pendidikan nasional yang diharapkan, hanya apabila guru benar-benar
menjadi tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik, yaitu
bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga
profesional. Disisi lain, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk diangkat
menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu, melainkan hanya bagi mereka yang
telah memperoleh sertifikat pendidik.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas selain
berkonsekuensi kepada pengelolaan sumber daya guru, manajemen pendidikan,
dipihak lain pihak sekaligus UU No.14 Tahun 2005 menghendaki terwujudnya
peserta didik yang bermutu. Dalam hubungan ini jelas penempatan guru sebagai
pendidik profesional, tidak hanya melulu berkaitan dengan soal finasial, tetapi
berjalan secara integral dengan kualifikasi, komptensi dan sertifikasi
pendidik.
Mewujudkan guru sebagai pendidik profesinal, hanya dapat dicapai apabila
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU No.14 Tahun 2005 dijalankan dengan
konsisten dan utuh.
1. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik,
sehat jasmani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
2. Guru berkewajiban ;
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu,
serta menilai dan mengevaluasi pembelajaran. b. Meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan komptensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. c. Bertindak objektif dan
tidak deskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi
fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi peserta didik
dalam pembelajaran. d. Menjunjung tingggi peraturan perundang-undangan, hukum
dan kode etik guru serta nilai agama dan etika, dan; e. Memelihara dan memupuk
persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di
Indonesia wajib memenuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
4. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib menanda
tangani pertanyaan kesanggupan untuk ditugaskan didaerah khusus paling sedikit
2 tahun.
5. Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi
6. Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohoni dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan
satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
7. Setiap orang yang akan diangkat menjadi dosen wajib mengikuti proses seleksi
9. Tenaga kerja asing yang diperkerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan
tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.
10. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk
peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan
yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat.
11. Pemerintah Wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi
akademik maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan
satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin
keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah
12. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik
dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk
menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang
diselenggarakan pemerintah sesuai dengan kewenangan.
13. Dalam hal terjadi kekosongan guru, pemerintah atau pemerintah daerah wajib
menyediakan guru pengganti
14. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran
oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat,
15. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk
meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang
diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
16. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat organisasi profesi dan/atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan
tugas.
17. Pemerintah, pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi
yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terlenggaranya pendidikan
yang bermutu.
18. Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompotensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
dan atau masyarakat.
19. Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan
pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan atau masyarakat.
20. Pemerintah, pemerintah daerah masyarakat organisasi profesi dan atau satuan
pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam
pelaksanaan tugas.
21. Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan masyarakar, wajib memenuhi
kebutuhan guru tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun
komptensinya untuk menjamin keberlansungan pendidikan.
22. Satuan Pendidikan yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
23. Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen,
24. Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan
guru.
Dari sejumlah kewajiban guru dan dosen, kewajiban pemerintah dan masyarakat
sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata untuk mewujudkan guru dan dosen
sebagai pendidik profesional membutuhkan perhatian dan kebijakan yang
sungguh-sungguh dari guru dan dosen, dari pemerintah dan masyarakat. Ini pun
baru hanya didasarkan pada sejumlah ketentuan yang dinyatakan dengan tegas
dalam UU No.14 Tahun 2005 dengan kata “WAJIB”. Penegasan demikian,
memperlihatkan suatu komitmen yang kuat dari kebijakan nasional dalam upaya
mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional. Namun persoalannya,
ketentuan-ketentuan yang imperatif dalam UU No.14 Tahun 2005 itu secara
konsisten dilaksanakan guru dan dosen, pemerintah dan masyarakat. Ketentuan
yang imperatif dalam UU guru dan dosen tersebut, ternyata tidak disertai dengan
ketentuan yang memberikan ruang bagi terlaksananya kebijakan-kebijakan yang
sudah diberi penekanan “wajib” dalam UU guru dan dosen.
E. Tantangan Profesionalisme Guru
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda
bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan
minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional
dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia
keguruan Indonesia. Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme
guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara
profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan
Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut
diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara
profesi lain, seperti dokter dan wartawan.
Profesi guru merupakan profesi yang paling diminati. Profesionalisme dalam arti
dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai dengan basis pendidikannya masing-masing.
Seorang pengajar di lembaga pendidikan haruslah berpendidikan dari lembaga
pendidikan tinggi keguruan (LPTK). Ketika lulusan LPTK bekerja menjadi akuntan,
itu tidak bisa dikatakan profesional. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan
(baca: imbalan) adalah hal wajar ketika seorang profesional mendapatkan imbalan
memadai karena dia akan bekerja maksimal sehingga menghasilkan sesuatu yang
berkualitas. Hubungan antara profesionalisme dan imbalan bersifat linear.
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran
tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi
guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya
sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan
tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan,
nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak
terjadi.
Alibi dari minimnya kesejahteraan tersebut adalah kemampuan negara yang memang
minim. Di satu sisi alibi ini bisa diterima, tetapi di sisi lain sulit
diterima. Di luar alibi tersebut realitas berkata, sebelum UU Guru dan Dosen
disahkan, kesejahteraan guru betul-betul sangat minim. Jangka waktu disahkannya
UU Guru dan Dosen ini sangatlah lama. Dalam amatan penulis, secara sederhana
kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam dinamika kehidupan guru
yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang, termasuk ketika UU Guru dan
Dosen telah disahkan pemerintah baru-baru ini. Masalah tersebut adalah masalah
kultural/tradisi, moral, dan struktural.
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu.
Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk
tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang.
Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi
beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas
akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media,
metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek
demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi
kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca:
berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga.
Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas
akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang.
Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring
budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan. Permasalahan moral muncul hampir
berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini
bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya
sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru.
Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru
dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika
melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat
menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung
beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena
kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan
melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama
dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari
watak-watak pragmatis sekaligus tantangan berat profesionalisme guru.
Permasalahan dan tantangan secara struktural lebih mengacu pada kondisi atau
struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan
sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya
kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara
materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di
masyarakat tersubordinasi. Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah
daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang
konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui,
secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling
menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari
subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari
seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority
complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang
harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta
didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin
perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini
tentu saja sangat berbahaya.
Apa yang bias disimpulkan secara sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah
bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya
tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi
tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru
dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju
profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju
profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya
diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam menjawab ketiga tantangan
tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru telah melaju beberapa langkah
ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar apabila tahun 2009 dijadikan
sebagai tahun menuju profesionalisme guru seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi
kado manis bagi dunia pendidikan Indonesia
F. Referensi
Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionalisme Guru, Pikiran Rakyat(Online)
Oktober 2002. (http://www.pikiranrakyat.com)
Ilham Radi Azis, Menjadi Guru Profesional Di Tengah Euphoria UUSPA, artikel,
(Panrannuang Pos edisi Januari 2007).
http://wwwilhamradi-sanrobone.blogspot.com/2008/12/profesionalisme-guru-dan-tantangannya.html
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/profesi-guru-di-tengah-masalah-masalah.html
http://guru-sditharbun.blogspot.com/2008/04/tantangan-membangun-guru-profesional.html
Sudjana, Nana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru, 1989.
Soetjipto & Raflis Kosasih; 1999, profesi keguruan, Jakarta : Rineka Cipta
Sidi, Indra Djadi, Menju Masyarakat Belajar, Jakarta:logos
Tilaar, H.A.R 1999, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan dalm Perspektif abad
21, Jakarta: Tiara Indonesia
salam,
BalasHapuskunjungan Ramadhan..
Salam..
Hapus